
JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga biro perjalanan haji dan umrah, Maktour Group, terlibat dalam penghilangan barang bukti saat digeledah penyidik terkait kasus dugaan korupsi kuota haji khusus 2023-2024. Penggeledahan tersebut dilakukan pada Kamis, 14 Agustus 2025, di kantor agen perjalanan yang dikenal menangani jamaah haji khusus.
“Penyidik menemukan petunjuk awal adanya dugaan penghilangan barang bukti. Atas tindakan tersebut, KPK kemudian melakukan evaluasi,” kata juru bicara KPK, Budi Prasetyo, dalam keterangannya pada Jumat, 15 Agustus 2025.
Menurut Budi, KPK kini tengah mempertimbangkan penerapan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Maktour Group. Pasal itu mengatur sanksi atas upaya merintangi, menghalangi, atau menghilangkan barang bukti dalam proses penyidikan kasus korupsi. “Dan tentunya penyidik tidak segan untuk mempertimbangkan pengenaan pasal 21 obstruction of justice terhadap pihak swasta,” tegasnya.
Sebelumnya, KPK sempat mengungkap adanya pihak swasta yang tidak kooperatif saat penggeledahan berlangsung. Pihak swasta tersebut diduga memiliki kaitan erat dengan praktik korupsi kuota haji khusus, sehingga KPK mengimbau agar bersikap kooperatif demi kelancaran penyidikan.
“Karena memang diduga pihak-pihak terkait melakukan tindakan-tindakan yang tidak kooperatif dalam proses penggeledahan di lapangan,” ujar Budi.
Perdalam Kasus Kuota Haji Khusus
Pelaksana tugas Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menambahkan bahwa penggeledahan tidak hanya dilakukan di kantor travel, tetapi juga di Kementerian Agama dan kediaman pribadi sejumlah pihak. Salah satu yang ikut digeledah adalah kantor Maktour Group milik Fuad Hasan Masyhur.
Asep menyebut, KPK juga telah mencegah pemilik biro perjalanan haji khusus tersebut bepergian ke luar negeri. “Salah satunya kantor MT (Maktour), yang merupakan bagian dari atau masuk dalam asosiasi Amphuri,” jelas Asep.
Menurut Asep, perusahaan-perusahaan travel umrah dan haji khusus diduga mendapatkan keuntungan besar dari praktik pembagian kuota yang bermasalah ini. Pasalnya, biaya haji khusus jauh lebih tinggi dibanding haji reguler. Hal itu membuat bisnis di sektor ini sangat menggiurkan, namun juga rawan disalahgunakan.
Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya pengawasan ketat terhadap pengelolaan kuota haji khusus. Selain menyangkut kepentingan jamaah yang sudah membayar biaya tinggi, transparansi juga harus dijaga agar kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan ibadah tetap terpelihara.