Polemik dan Kebijakan Pemerintah Indonesia Soal Pengaturan Jalur Haji Mujamalah

Polemik dan Kebijakan Pemerintah Indonesia Soal Pengaturan Jalur Haji Mujamalah

JAKARTA – Haji mujamalah memang menghadirkan kemudahan. Tapi di balik itu, ada polemik yang terus bergulir dari waktu ke waktu. Pro dan kontra bermunculan, apalagi kalau bicara soal keadilan sosial hingga campur tangan pemerintah dalam mengatur jalur ini. Ada pihak yang berharap jalur haji mujamalah lebih ditertibkan supaya tidak terkesan memicu kesenjangan dan ketidakadilan. Apalagi, biaya yang dikeluarkan pun sangat tinggi.

Kalau bicara soal pro, tentu saja haji mujamalah dianggap angin segar bagi yang punya kemampuan finansial. Namun di sisi lain, pandangan miring muncul dari beberapa pihak yang merasa haji mujamalah menghadirkan ketimpangan. Bagaimana tidak, ketika jutaan orang harus antre lama, eh ujug-ujug ada jalur khusus yang bisa diakses hanya oleh segelintir orang saja. Di sinilah polemik haji mujamalah makin tajam dan menimbulkan kecemburuan sosial.

Beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia mulai memperketat pengawasan penyelenggaraan haji mujamalah supaya tidak dimanfaatkan secara sembarangan oleh pihak-pihak yang ingin meraup keuntungan pribadi. Dalam praktiknya, haji mujamalah juga diusahakan tetap mengikuti standar layanan minimal supaya jamaah tetap aman selama menjalankan ibadah.

Kebijakan pemerintah terhadap haji mujamalah memang cukup dinamis. Awalnya, jalur ini seperti dibiarkan tanpa pengawasan yang terlalu ketat. Setelah muncul berbagai kasus penipuan hingga jamaah terlantar di Arab Saudi karena ulah biro travel nakal, perhatian mulai meningkat. Haji mujamalah akhirnya masuk dalam radar pengawasan lebih serius, meski tak sepenuhnya bisa diatur seperti haji reguler yang kuotanya jelas dan pengelolaannya terstruktur.

Pemerintah Mulai Memberi Pengawasan Ketat untuk Jalur Haji Mujamalah

Perubahan paling terasa justru muncul ketika pemerintah mulai mewajibkan penyelenggara haji mujamalah untuk membel paket hajinya terlebih dahulu, memberikan laporan dan koordinasi sebelum keberangkatan. Tujuannya sederhana, agar jamaah tetap mendapat perlindungan meski berangkat lewat jalur non-kuota.

Walaupun begitu, pengaturan ini tidak serta-merta mengubah status haji mujamalah yang memang tetap berada di area abu-abu dalam konteks hukum nasional. Haji mujamalah tetap berjalan sebagai jalur alternatif, tapi sekarang dengan sorotan lebih tajam agar tidak disalahgunakan.

Meski belum ada perubahan yang benar-benar signifikan dalam aturan bakunya, sekarang ada upaya lebih jelas dari pemerintah untuk menjaga agar jalur ini tetap aman, legal, dan tidak merugikan jamaah.

Beberapa Waktu lalu, Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang, menekankan akan mendorong aturan kuota haji furoda lewat revisi undang-undang penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Dia berbicara perlunya aturan pembatasan kuota ibadah haji. Batasan itu akan diatur lewat revisi UU. “Maka nanti diundang-undang sebetulnya harus ada pembatasan batas atasnya berapa yang boleh,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Abdul Wachid, menekankan perlunya ada pembatasan tarif haji Furoda yang disebut kini mencapai miliaran. Dengan begitu, sebut dia, pemerintah harus hadir dalam penyelenggaraannya.

“Harus ada maksimal berapa. Jangan sampai biaya haji itu ada yang Rp 300 juta, ada yang Rp 500 juta, Ada yang Rp 700 juta, Bahkan yang kami dengar-dengar ada Rp 1 miliar. Nah ini kan sudah nggak benar lagi. Harus ada batasan maksimal berapa yang boleh, yang tidak boleh itu berapa,” kata Wachid.

Indra Eka Setiawan

Writer & Blogger

Related Posts:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Facebook
Twitter
LinkedIn
Akun ke 3 Milik PT Wisata Halal Indonesia